Rabu, 17 September 2014

MADINA - Ladang ganja seluas sekitar 10 hektare ditemukan dalam operasi yang digelar Kepolisian Resor (Polres) Mandailing Natal (Madina), Sumatera utara (Sumut). Tanaman terlarang itu lantas dimusnahkan.

Temuan ladang ganja itu merupakan hasil operasi pemberantasan narkoba yang dilaksanakan, Senin (15/4/2014). Operasi itu dipimpin langsung oleh Kapolres Madina AKBP Mardiaz K. Dwihananto.

Ladang ini berada di perbukitan Tor Sihite, Desa Raorao Dolok, Kecamatan Tambangan, Madina. Areal tanamnya tersebar di lima lokasi berdekatan.

"Luas seluruhnya sekitar sepuluh hektare," kata Kapolres Mardiaz kepada wartawan di Madina.

Dari seluruh ladang itu berhasil didapatkan 50 ribu batang ganja siap panen. Sebanyak 300 batang dibawa ke polres untuk kepentingan penyelidikan, selebihnya dimusnahkan di lokasi dengan cara dibakar.

Pengungkapan kasus ini merupakan hasil pengembangan dari penangkapan beberapa tersangka kasus ganja yang telah ditangkap sebelumnya. Pemilik ladang ganja tersebut belum ditemukan, sementara penyelidikan masih terus dilakukan petugas.(rul/mok) /Detik News
MADINA - Sebanyak 5 orang penambang tewas dan seorang lainnya harus dirawat karena menghirup gas beracun di tambang tradisional di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara (Sumut). Polisi masih menyelidiki penyebab kejadian ini.
Musibah itu terjadi di Tambang Arai, salah satu tambang emas tradisional yang berada di Dusun Tambang Udi, Desa Aek Botung, Kecamatan Muara Sipongi. Para korban merupakan warga setempat, yakni Buan (40), Adek (20), Damis (30), Cewin (33) dan Idris (31).
Para korban tewas tersebut dimakamkan Selasa (2/9/2014). Sementara korban yang selamat masih dirawat di Puskesmas Kotanopan, yakni Suwandi (22).
Keterangan yang diperoleh dari Kapolres Mandailing Natal AKBP Mardiaz K. Dwihananto menyebutkan, musibah itu terjadi pada Senin (1/9) sekitar pukul 17.00 WIB. Bermula ketika kelima korban menemukan lubang tambang eks zaman Belanda yang kabarnya bekas tempat pengumpulan emas.
"Saat korban mengecek lubang, ternyata lubang tersebut mengeluarkan gas beracun," kata Mardiaz kepada media di Mandailing Natal pada Selasa malam.
Para korban yang berada di depan langsung lemas dan yang seorang lagi melihat kawan-kawannya lemas, langsung balik kanan menyelamatkan diri. Upaya evakuasi korban dilakukan segera dilakukan warga, namun para korban ditemukan sudah meninggal dunia.
Terkait kejadian ini, polisi segera melakukan penyelidikan. Petugas di lapangan masih melakukan pengecekan dan meminta keterangan saksi-saksi. (rul) /Detik News.Com
MADINA - Selama ini, sisa pengolahan emas tradisional di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, langsung dibuang ke Sungai Batang Gadis dan Sungai Hutabargot. Hasil uji laboratorium terhadap sampel air tercemar limbah inipun mengandung merkuri di atas ambang batas.
Sampel diambil Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas Madina, setelah Mongabay selesai meliput di sana Juli 2014. Sampel diserahkan kepada Forum Mahasiswa Teknik Kimia Institut Teknologi Medan (ITM), dan uji laboratorium.
Syarifah Ainun, anggota Forum Mahasiswa Teknik Kimia ITM, mengatakan, hasil uji laboratorium air limbah pengolahan emas Madina mengandung kimia di ambang batas  seperti, merkuri, timbal, arsen, cadmium, tembaga, nikel, dan zink. Bahkan paling mengejutkan, merkuri yang dibuang mencapai 1,22 mg/l, ambang batas hanya 0,025 mg/l.
Untuk senyawa kimia timbal 0,32 mg/l, ambang batas 0,5 mg/l, dan arsen 0,18 mg/l, ambang batas 0,05 mg/l. Lalu, cadmium ambang batas 0,05 mg/l, namun  hasil uji 1,01 mg/l dan tembaga sebesar 1,14 mg/l, padahal ambang batas 0,5 mg/l. Begitu juga nikel, kandungan 1,11 mg/l, ambang batas sebesar 0,5 mg/l serta zink 3,04 mg/l sedang batas boleh dibuang ke alam 2,5 mg/l.
Menurut dia, merkuri, baik bentuk unsur, gas maupun dalam garam organik, mengandung racun dan tidak bisa ditawar-tawar. “Jika termakan ikan dan ikan dimakan manusia, dipastikan racun masuk ke manusia. Ini sangat beracun,” katanya, Senin (8/9/14).
Kala dia melihat video Mongabay, tampak larutan sisa ekstraksi langsung dibuang tanpa proses. “Kami lihat setelah dicampur merkuri guna memisahkan kandungan emas dengan senyawa lain, tidak diproses lagi, dibuang begitu saja ke aliran air yang biasa digunakan masyarakat. Ini jelas racun yang dibuang.”
Dia menyatakan, secara teori, semua bentuk merkuri baik metal dan alkil, jika terinjeksi tubuh manusia, akan menyebabkan kerusakan otak, ginjal dan hati. Jika dikonsumsi terus menerus akan menyebabkan kerusakan permanen. Dia mengingatkan, Pemerintah Madina, tegas mengatasi ini. Sebab, lebih tiga kecamatan dan puluhan desa setiap hari mengkonsumsi air yang mengandung racun, tertinggi merkuri. Merkuri, katanya, juga bisa menyebabkan penghambatan fungsi enzin. “Ini dapat menyebabkan gangguan syaraf manusia.”

Azudin Siregar, tim yang menguji, menambahkan, manusia akan keracunan jika memakan biota air tercemar mercuri. “Hasil analisis kami atas sampel air limbah yang diserahkan Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas. Kesimpulannya, air sisa pengolahan emas dibuang ke sungai dan mengandung merkuri.”
Dea Nasution, dari FPMMTE Madina, mengatakan, limbah dibuang ke alam tanpa ada pengawasan Balai Lingkungan Hidup (BLH). Limbah dibuang ke Sungai Batang Gadis, yang digunakan masyarakat untuk minum, mencuci, dan kebutuhan sehari-hari.
“Karena kami anggap itu mencemari lingkungan, sampel diperiksa independen oleh para insinyur teknik kimia. Kami tidak percaya hasil Pemerintah Madina,” katanya.
Dahlan Hasan Nasution, Plt Bupati Mandailing Natal, ketika dikonfirmasi mengatakan, sudah berupaya menyelesaikan masalah ini. Dia mengatakan, setidaknya ada lebih 200 mesin galundung, atau gelondongan yang dipakai penambang di sana untuk memecah batu.
Pemkab, katanya, tidak berani gegabah, mengingat pengolahan batu emas oleh penambang tradisional ini sudah berlangsung enam tahun lebih. Jika keputusan dianggap tidak menguntungkan masyarakat, akan ada perlawanan.
Jadi, dalam waktu dekat, pemkab akan menertibkan mesin glondongan dengan memberikan rancangan mesin lain lebih ramah lingkungan guna meminimalisir pencemaran.
Dahlan menyatakan, tengah menyusun rancangan peraturan daerah (ranperda), soal tambang emas tradisional di Madina. Salah satu memasukkan rencana merelokasi tambang, yang beroperasi di hutan lindung Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).
“Saya sudah baca yang ditulis Mongabay soal berita penambangan emas di TNBG. Saya sudah perintahkan ada relokasi dan penindakan jika melanggar UU konservasi dan lingkungan hidup. Soal pencemaran air akibat pembuangan limbah akan ada penertiban.” / Mongabay.co.id / Ayat. S Karo-karo


MADINA – Masyarakat Desa Batahan, Kecamatan Kotanopan, melayangkan surat kepada Plt Bupati Madina Dahlan Hasan Nasution memohon pembangunan jalan menuju desa mereka dilanjutkan. Karena masih ada sekitar lima kilometer lagi jalan menuju desa itu dalam kondisi rusak parah berupa jalan tanah.
“Kami sudah membuat surat permohonan pembangunan peningkatan jalan ke Desa Batahan sekitar 5 kilometer lagi. Surat yang dikirmkan tanggal 20 Juli itu ditandatangani seluruh warga Desa Batahan yang ditujukan kepada Plt Bupati Madina. Surat ini juga sudah kita serahkan langsung kepada Plt Bupati Madina seminggu lalu,” ujar Kepala Desa Batahan Samwel, Sabtu (16/8) di Kotanopan.
Dikatakan Samwel, surat tersebut sengaja dibuat dengan harapan Pemkab Madina bisa melanjutkan pembangunan jalan ini yang panjangnya tinggal 5 kilometer lagi di tahun ini. Karena di tahun 2013 lalu, Pemkab Madina sudah melakukan pembangunan jalan ke desa ini sekitar 2 kilometer.
“Jadi kami berharap di tahun 2014 ini ada kelanjutan pembangunannya,” ujar Samwel. Menurut Kades, melihat kondisi jalan sepanjang 9 kilometer dari desa terdekat yakni Desa Pagar Gunung, kondisinya sangat rusak berat dan masih terbuat dari tanah.
Dan dilihat dari kondisi jalan, masih belum memungkinkan untuk saat ini bisa dibangun. Tetapi setidaknya Pemkab Madina bisa melanjutkan pelebaran jalan lanjutan dari 2 kilometer di tahun 2013 yang lalu.
Sementara 2 kilometer lagi pelebarannya sudah dikerjakan oleh program PNPM-MP, dan sisanya hanya sekitar 5 kilometer yang belum mendapat pelebaran. “Sebenarnya kita sangat mendambakan jalan sepanjang 9 kilometer ini bisa mendapat pengerasan aspal.
Namun jika dilihat dari kondisi yang ada sekarang masih sangat jauh dari yang diharapkan karena memang jalan ini sama sekali belum pernah disentuh aspal. Jika saja sisa yang 5 kilometer itu pelebarannya dilanjutkan sudah sangat membantu masyarakat, mengingat ini akses jalan satu-satunya bagi masyarakat untuk tiba di Pasar Kotanopan. Karena disanalah hasil bumi warga dijual dan ke Kotanopan jugalah semua anak-anak melanjutkan sekolah sesudah SD. Setiap hari harus melewati jalan yang penuh lumpur dan rusak itu,” jelasnya.
Ditambahkan, kondisi jalan ke desa ini memang sangat berat, sampai saat ini jalan tersebut sama sekali belum tersentuh aspal. Kondisi jalan hanya tanah liat dan jika musim hujan, jalan akan sangat licin dan di badan jalan terdapat lubang-lubang besar bekas aliran air.
Sementara mobil angkutan tidak ada sama sekali yang masuk ke desa ini, hanya hari Sabtu saja karena hari pekan di sana, baru ada mobil masuk ke desa itu. Itupun jenis mobil gardan dua dengan ongkos Rp50 ribu per orang. Lokot Husda lubis S Ag salah seorang tokoh pemuda di Kotanopan mengaku cukup prihatin dengan kondisi Desa Batahan yang termasuk desa tua di Kotanopan.
“Kita cukup prihatin melihat kondisi jalan ke desa ini. Aspal belum ada sama sekali, yang ada hanya tanah liat dengan kondisi jalan sangat curam. Sudah saatnya pemerintah membangun jalan ke desa ini agar perekonomian warga menjadi terbantu. Dan akses dunia pendidikan lebih terjangkau, sehingga tidak ada lagi keluhan masyarakat kita akibat akses jalan, anak-anak susah melanjutkan pendidikan,” harapnya. (wan)
/METROSIANTAR.com
MADINA - Mereka menambang dengan peralatan seadanya di lubang-lubang tambang emas dengan kedalalam 35 hingga 100 meter. Hutan rusak, sampah botol mineral berserakan. Tanah dan bebatuan galianpun bertumpuk sembarangan di dalam hutan di Taman Nasional Batang Gadis ini. 
Cuaca begitu bersahabat akhir Juni lalu, mengiringi perjalanan saya menelusuri kabupaten pemekaran bagian selatan Sumatera Utara (Sumut), Mandailing Natal. Tepatnya, Desa Hutabargot Nauli.
Dari desa ini, saya menuju kawasan hutan di Gunung Hutabargot, yang masuk Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Di puncak gunung, banyak gubuk-gubuk ukuran 5×5 meter berdiri. Ternyata ini, gubuk atau tenda ‘rumah’ para pekerja tambang emas.
Ditemani Usrizal Ahmad, biasa disapa Amang Boru Kocu, tokoh adat Mandailing juga penolak tambang, saya melanjutkan perjalanan ke pintu rimba.  Menuju ke puncak Hutabargot, ternyata tidak mudah. Bebatuan cadas. Jalanan licin menukik. Kami harus menyeberangi sungai dengan arus deras. Perjalanan lebih kurang enam jam menuju ke lokasi penambangan emas tradisional. Cukup berat, terlebih saya sedang berpuasa.
Di sepanjang perjalanan, tampak para pekerja tambang emas hilir mudik di kawasan taman nasional ini. Ada turun ke desa. Ada yang naik untuk menambang dengan kedalaman 35-100 meter!
Tampak pula puluhan pria menggendong karung goni berisi bebatuan yang kemungkinan mengandung emas. Ditambah limbah plastik minuman mineral berserakan.
Dua jam perjalanan, di tengah hutan sejumlah pria bersenda gurau di sebuah gubuk. Ternyata warung minuman buat pekerja tambang. Saya sempat menghitung, sepanjang perjalanan,  ada 15 warung di dalam hutan lindung itu. Ia bak desa yang tak pernah mati.
Sebagian besar pekerja tambang dari Jawa, seperti Jawa Tengah, Surabaya, dan Bogor. Selebihnya, warga Mandailing Natal.
“Kalau pemilik lubang warga Mandailing Natal. Itu sudah hukum, gak boleh orang luar. Kami hanya bekerja, ” kata Wahyu Setiawan, pemuda 28 tahun asal Jawa Tengah. Dia mengaku sudah empat tahun menambang di sana.
Tiba di lokasi tambang tepat waktu berbuka puasa. Lega bisa melepas dahaga tetapi sedih melihat hutan rusak. Bebatuan berserakan dan ditumpuk sembarangan. Ia limbah karena dianggap tak mengandung emas.
Para pekerja tambang sempat curiga. Beruntung, Kocu bisa berbahasa Mandailing. Akhirnya, mereka menyambut kami dengan baik. Bahkan mereka mempersilakan saya menyaksikan dan meliput langsung ke lubang tambang.

Di lubang tambang
Pada kedalaman 10 meter. Suasana hening. Tak ada suara apapun. Hanya tarikan nafas terdengar. Saya terus turun. Pada kedalaman 35 meter, saya dikejutkan suara ribut dari dalam perut bumi. Pukulan palu dan mesin bor bersahutan. Sedikit sesak, asupan oksigen mulai berkurang.
Pemilik lubang hanya menggunakan pipa blower untuk asupan oksigen bagi pekerja tambang. Kala masuk kedalaman 60-100 meter nafas makin sesak.
Di tempat penambangan, tampak tiga pekerja bergantian mengebor. Mereka mencari emas di sekitar bebatuan yang digali ukuran 1×1,5 meter. Tak ada rasa khawatir. Raut wajah mereka begitu santai.
“Bawa air? Bagi sikit, ” kata Benget Januar, seorang penambang.
Bagi Benget, pekerjaan ini bak judi. Jika beruntung akan mendapatkan batuan mengandung emas cukup bagus. Jika tidak, sebanyak dan selama apapun mengebor bebatuan akan mengecewakan.
“Kami pernah mendapatkan hasil tidak memuaskan. Bekerja dua hari dapat satu, tiga gram emas. Tetapi di lubang sebelum ini, kami pernah mendapatkan bebatuan hampir satu ons. Bos pemilik lubang kaya raya. Kami kecipratan. Lumayan uang bisa dikirim ke kampung.”
Sedangkan Rizal, penambang asal Bogor, mengatakan, sudah menggeluti pekerjaan berbahaya ini lebih 12 tahun. Menurut dia, proses diawali mencari titik bor yang diprediksi ada batu sedeng atau batu emas. Kedalaman pelubangan antara 30-150 meter dari permukaan tanah.
Berdasarkan pengalaman, dengan kedalaman itu peluang mendapatkan hasil lebih baik. Jika tidak, hasil tidak akan berimbang dan tidak bisa memenuhi biaya operasional sehari-hari. Mulai biaya hidup di penambangan, gaji pengangkut karung batu, hingga pemisahan antara batu dan emas. Dalam satu karung bebatuan, katanya, biasa ada tiga 3-30 gram emas.
Untuk pengambilan batu sedeng biasa menggunakan palu atau bor dan pahat. Arus listrik biasa menggunakan baterai basah.“Jadi sebelum membuka lubang baru, kita analisis dulu. Setelah dipastikan terdapat bebatuan mengandung emas, baru pelubangan.”
Bagi Edi, warga Rumbeo, Kota Panyabungan, Mandailing Natal, juga pengawas mengatakan, harus berada di lubang maupun permukaan untuk mengawasi para pekerja.
Menurut dia, jika ditemukan emas, antara pemilik lubang dengan pekerja berbagi hasil. Di bawah pengawasan dia ada tujuh penambang dibagi dua shif kerja, siang dan malam. Keluarganya, pernah memiliki delapan lubang emas di berbagai kawasan hutan.

Di lubang, untuk keamanan penambang, dibuat kayu-kayu penyanggah ukuran 1×1 meter. Namun, cara ini menurut sebagian pihak masih berbahaya. Sebab, kayu penyangga tidak akan kuat menahan bebatuan, apalagi hingga kedalaman 100 meter.
Berdasarkan data tim SAR Mandailing Natal, sepanjang 2013-akhir Juli 2014, setidaknya 100 pekerja tambang meninggal tertimbun di lubang longsor. Bahkan, jenazah pekerja tidak ditemukan.
Kocu mengatakan, jika dihitung emas yang didapat tidak sebanding dengan kerusakan hutan, ekosistem dan ancaman keselamatan.
Menurut dia, ada dua wilayah lain tempat penambangan emas di Mandailing Natal, yaitu Desa Huta Julu, dan Desa Naga Juang.
Dea Nasution, dari Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas Mandailing Natal, mengatakan, hutan Hutabargot masuk kawasan TNBG. Di hutan ini, terjadi kerusakan cukup parah akibat tambang emas. “Sejak 2013, kami kampanye menghentikan penambangan di hutan lindung ini, ” katanya.
Dia mengatakan, delapan tahun lalu, monyet, tringgiling, gajah, dan jejak harimau masih terlihat. Namun, kini satwa-satwa itu perlahan menghilang. Mengapa? Sebab, rumah mereka rusak. Bebatuan dibuang di hutan begitu banyak.
“Dulu kita paling takut jika harus melintas di hutan Hutabargot. Sebab ular, gajah liar, babi hutan, bahkan auman harimau masih terdengar. Sekarang, hanya limbah botol mineral berserakan, ditambah bebatuan kerukan berserakan. Belum lagi pohon ditebang.”
Lantas apa tanggapan Pemerintah Mandailing Natal menyikapi soal ini?
Syahrir Nasution, ketua Dewan Riset Daerah Mandailing Natal, malah berpendapat, tambang emas ini harus dilegalkan. Untuk itu, perlu penanganan terpadu agar bisa menambah PAD.
“Jadi jika ada payung hukum, ada timbal balik baik pemerintah mendapatkan PAD, penambang juga terlindungi melalui payung hukum.” Dia mengelak menjawab soal dampak buruk penambangan termasuk kerusakan hutan di TNBG./Ayat S karo-karo/Mongabay.co.id

INDEKS BERITA

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts