MADINA
- Mereka menambang dengan peralatan seadanya di lubang-lubang
tambang emas dengan kedalalam 35 hingga 100 meter. Hutan rusak, sampah
botol mineral berserakan. Tanah dan bebatuan galianpun bertumpuk
sembarangan di dalam hutan di Taman Nasional Batang Gadis ini.
Cuaca begitu bersahabat akhir Juni lalu, mengiringi perjalanan saya
menelusuri kabupaten pemekaran bagian selatan Sumatera Utara (Sumut),
Mandailing Natal. Tepatnya, Desa Hutabargot Nauli.
Dari desa ini, saya menuju kawasan hutan di Gunung Hutabargot, yang
masuk Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Di puncak gunung, banyak
gubuk-gubuk ukuran 5×5 meter berdiri. Ternyata ini, gubuk atau tenda
‘rumah’ para pekerja tambang emas.
Ditemani Usrizal Ahmad, biasa disapa Amang Boru Kocu, tokoh adat
Mandailing juga penolak tambang, saya melanjutkan perjalanan ke pintu
rimba. Menuju ke puncak Hutabargot, ternyata tidak mudah. Bebatuan
cadas. Jalanan licin menukik. Kami harus menyeberangi sungai dengan arus
deras. Perjalanan lebih kurang enam jam menuju ke lokasi penambangan
emas tradisional. Cukup berat, terlebih saya sedang berpuasa.
Di sepanjang perjalanan, tampak para pekerja tambang emas hilir mudik
di kawasan taman nasional ini. Ada turun ke desa. Ada yang naik untuk
menambang dengan kedalaman 35-100 meter!
Tampak pula puluhan pria menggendong karung goni berisi bebatuan yang
kemungkinan mengandung emas. Ditambah limbah plastik minuman mineral
berserakan.
Dua jam perjalanan, di tengah hutan sejumlah pria bersenda gurau di
sebuah gubuk. Ternyata warung minuman buat pekerja tambang. Saya sempat
menghitung, sepanjang perjalanan, ada 15 warung di dalam hutan lindung
itu. Ia bak desa yang tak pernah mati.
Sebagian besar pekerja tambang dari Jawa, seperti Jawa Tengah, Surabaya, dan Bogor. Selebihnya, warga Mandailing Natal.
“Kalau pemilik lubang warga Mandailing Natal. Itu sudah hukum,
gak boleh
orang luar. Kami hanya bekerja, ” kata Wahyu Setiawan, pemuda 28 tahun
asal Jawa Tengah. Dia mengaku sudah empat tahun menambang di sana.
Tiba di lokasi tambang tepat waktu berbuka puasa. Lega bisa melepas
dahaga tetapi sedih melihat hutan rusak. Bebatuan berserakan dan
ditumpuk sembarangan. Ia limbah karena dianggap tak mengandung emas.
Para pekerja tambang sempat curiga. Beruntung, Kocu bisa berbahasa
Mandailing. Akhirnya, mereka menyambut kami dengan baik. Bahkan mereka
mempersilakan saya menyaksikan dan meliput langsung ke lubang tambang.
Di lubang tambang
Pada kedalaman 10 meter. Suasana hening. Tak ada suara apapun. Hanya
tarikan nafas terdengar. Saya terus turun. Pada kedalaman 35 meter, saya
dikejutkan suara ribut dari dalam perut bumi. Pukulan palu dan mesin
bor bersahutan. Sedikit sesak, asupan oksigen mulai berkurang.
Pemilik lubang hanya menggunakan pipa blower untuk asupan oksigen
bagi pekerja tambang. Kala masuk kedalaman 60-100 meter nafas makin
sesak.
Di tempat penambangan, tampak tiga pekerja bergantian mengebor.
Mereka mencari emas di sekitar bebatuan yang digali ukuran 1×1,5 meter.
Tak ada rasa khawatir. Raut wajah mereka begitu santai.
“Bawa air? Bagi
sikit, ” kata Benget Januar, seorang penambang.
Bagi Benget, pekerjaan ini bak judi. Jika beruntung akan mendapatkan
batuan mengandung emas cukup bagus. Jika tidak, sebanyak dan selama
apapun mengebor bebatuan akan mengecewakan.
“Kami pernah mendapatkan hasil tidak memuaskan. Bekerja dua hari
dapat satu, tiga gram emas. Tetapi di lubang sebelum ini, kami pernah
mendapatkan bebatuan hampir satu ons. Bos pemilik lubang kaya raya. Kami
kecipratan. Lumayan uang bisa dikirim ke kampung.”
Sedangkan Rizal, penambang asal Bogor, mengatakan, sudah menggeluti
pekerjaan berbahaya ini lebih 12 tahun. Menurut dia, proses diawali
mencari titik bor yang diprediksi ada batu sedeng atau batu emas.
Kedalaman pelubangan antara 30-150 meter dari permukaan tanah.
Berdasarkan pengalaman, dengan kedalaman itu peluang mendapatkan
hasil lebih baik. Jika tidak, hasil tidak akan berimbang dan tidak bisa
memenuhi biaya operasional sehari-hari. Mulai biaya hidup di
penambangan, gaji pengangkut karung batu, hingga pemisahan antara batu
dan emas. Dalam satu karung bebatuan, katanya, biasa ada tiga 3-30 gram
emas.
Untuk pengambilan batu sedeng biasa menggunakan palu atau bor dan
pahat. Arus listrik biasa menggunakan baterai basah.“Jadi sebelum
membuka lubang baru, kita analisis dulu. Setelah dipastikan terdapat
bebatuan mengandung emas, baru pelubangan.”
Bagi Edi, warga Rumbeo, Kota Panyabungan, Mandailing Natal, juga
pengawas mengatakan, harus berada di lubang maupun permukaan untuk
mengawasi para pekerja.
Menurut dia, jika ditemukan emas, antara pemilik lubang dengan
pekerja berbagi hasil. Di bawah pengawasan dia ada tujuh penambang
dibagi dua shif kerja, siang dan malam. Keluarganya, pernah memiliki
delapan lubang emas di berbagai kawasan hutan.
Di lubang, untuk keamanan penambang, dibuat kayu-kayu penyanggah
ukuran 1×1 meter. Namun, cara ini menurut sebagian pihak masih
berbahaya. Sebab, kayu penyangga tidak akan kuat menahan bebatuan,
apalagi hingga kedalaman 100 meter.
Berdasarkan data tim SAR Mandailing Natal, sepanjang 2013-akhir Juli
2014, setidaknya 100 pekerja tambang meninggal tertimbun di lubang
longsor. Bahkan, jenazah pekerja tidak ditemukan.
Kocu mengatakan, jika dihitung emas yang didapat tidak sebanding dengan kerusakan hutan, ekosistem dan ancaman keselamatan.
Menurut dia, ada dua wilayah lain tempat penambangan emas di Mandailing Natal, yaitu Desa Huta Julu, dan Desa Naga Juang.
Dea Nasution, dari Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas
Mandailing Natal, mengatakan, hutan Hutabargot masuk kawasan TNBG. Di
hutan ini, terjadi kerusakan cukup parah akibat tambang emas. “Sejak
2013, kami kampanye menghentikan penambangan di hutan lindung ini, ”
katanya.
Dia mengatakan, delapan tahun lalu, monyet, tringgiling, gajah, dan
jejak harimau masih terlihat. Namun, kini satwa-satwa itu perlahan
menghilang. Mengapa? Sebab, rumah mereka rusak. Bebatuan dibuang di
hutan begitu banyak.
“Dulu kita paling takut jika harus melintas di hutan Hutabargot.
Sebab ular, gajah liar, babi hutan, bahkan auman harimau masih
terdengar. Sekarang, hanya limbah botol mineral berserakan, ditambah
bebatuan kerukan berserakan. Belum lagi pohon ditebang.”
Lantas apa tanggapan Pemerintah Mandailing Natal menyikapi soal ini?
Syahrir Nasution, ketua Dewan Riset Daerah Mandailing Natal, malah
berpendapat, tambang emas ini harus dilegalkan. Untuk itu, perlu
penanganan terpadu agar bisa menambah PAD.
“Jadi jika ada payung hukum, ada timbal balik baik pemerintah
mendapatkan PAD, penambang juga terlindungi melalui payung hukum.” Dia
mengelak menjawab soal dampak buruk penambangan termasuk kerusakan hutan
di TNBG./Ayat S karo-karo/Mongabay.co.id